JAKARTA, KOMPAS.Com — Dalam rangka proyek mass rapid transit (MRT) telah dilakukan penandatanganan Loan Agreement 2 (LA 2) antara Pemerintah (diwakili Dubes RI di Jepang) dan Japan International Coorporation Agency (JICA). Jumlah LA 2 ini senilai 48,150 miliar yen.
Demikian diungkap Direktur Fungsi Korporasi PT Mass Rapid Transit Jakarta (MRTJ) Eddi Santosa dalam jumpa pers di Kantor MRTJ, Jakarta, Rabu (1/4). "Paling lambat 120 hari sejak 31 Maret 2009, LA 2 sudah harus efektif. Uangnya masih di Jepang. Sebagai bentuk komitmen, pemerintah sudah membayar 0,1 persennya," kata Eddi.
Total pinjaman dari JICA untuk proyek ini adalah 120,017 miliar yen. Tahap 2 (LA 2) seluruhnya diteruskan kepada Pemprov DKI Jakarta sebagai hibah. Sisa pinjaman pada tahap ketiga dan tahap keempat yang seluruhnya akan diteruskan kepada Pemprov DKI Jakarta sebagai pinjaman.
Dari jadwal yang dipublikasikan MRTJ, ada empat tahap yang akan dilalui untuk sampai beroperasinya. Pertama, pengerjaan basic design yang dimulai pada April 2009. Pengerjaan yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan ini direncanakan berlangsung selama 14 bulan.
Ketika ditanya apakah basic design ini sudah dikerjakan, Eddi mengaku tidak tahu. "Tanya saja sama mereka (Dephub). Kami mengerjakan rencana selanjutnya (2-4)," kata Eddi.
Rencana yang dimaksudkannya adalah proses tender konstruksi, pengerjaan konstruksi, dan uji coba. "Inilah yang dikerjakan oleh kami (MRTJ)," ungkap Eddi. Untuk proses tender, katanya, waktunya 12 bulan, konstruksi 58 bulan, dan uji coba 6 bulan saja. Dengan demikian, pada Januari 2016 MRT ini bisa dioperasikan.
Pemprov DKI sendiri, menurut info dari MRTJ, telah menunjukkan total komitmennya di Perda No 4/2008 yang memuat komitmen APBD sampai dengan 2016 sebesar Rp 1,5 triliun. Sampai dengan 2009, pemprov DKI telah mengeluarkan Rp 100 miliar untuk pembebasan tanah dan ekuitas MRTJ.
Namun, kata Eddi, dana yang berasal dari JICA sangat ketat penggunaannya. "Mereka meminta ada barangnya dulu baru uangnya dicairkan," katanya.
Implikasinya, masih kata Eddi, perusahaan kontraktor yang akan mengerjakan proyek ini harus memiliki modal awal. Pasalnya, tidak ada uang muka dalam pengerjaannya. Kalau dana itu dirupiahkan menjadi sekitar Rp 6 triliun. Jika diserap selama 2,5 tahun, per bulannya dana yang dibutuhkan sekitar Rp 2 miliar. Jadi, kalau menagihnya tiap tiga bulan sekali, kontraktor yang bersangkutan harus punya modal awal sebesar Rp 600 miliar," kata Eddi.
"Sistem pembayaran seperti ini sangat menguntungkan. Pertama, untuk menjamin proyek ini tidak terbengkalai. Kedua, kalau ada kenaikan biaya, Jepang langsung menanganinya," ungkap Eddi.
Pengerjaan proyek MRT ini merupakan tahap pertama dari dua tahap. Tahap pertama ini mengerjakan jalur dari Lebak Bulus sampai Dukuh Atas. Berikut adalah profil proyek MRT tersebut berdasarkan data MRTJ.
Panjang jalurnya 14,5 km (10,5 km di atas, 4 km di bawah tanah). Jumlah stasiun 12 buah (8 di atas dan 4 di bawah tanah). Waktu tempuhnya hanya 28 menit. Waktu berhenti 40,60 detik, ini untuk menghindari terciptanya pasar di lokasi stasiun. Jarak antarstasiun 0,8-2,2 km. Jumlah penumpang per hari mencapai 340.000 orang.
Demikian diungkap Direktur Fungsi Korporasi PT Mass Rapid Transit Jakarta (MRTJ) Eddi Santosa dalam jumpa pers di Kantor MRTJ, Jakarta, Rabu (1/4). "Paling lambat 120 hari sejak 31 Maret 2009, LA 2 sudah harus efektif. Uangnya masih di Jepang. Sebagai bentuk komitmen, pemerintah sudah membayar 0,1 persennya," kata Eddi.
Total pinjaman dari JICA untuk proyek ini adalah 120,017 miliar yen. Tahap 2 (LA 2) seluruhnya diteruskan kepada Pemprov DKI Jakarta sebagai hibah. Sisa pinjaman pada tahap ketiga dan tahap keempat yang seluruhnya akan diteruskan kepada Pemprov DKI Jakarta sebagai pinjaman.
Dari jadwal yang dipublikasikan MRTJ, ada empat tahap yang akan dilalui untuk sampai beroperasinya. Pertama, pengerjaan basic design yang dimulai pada April 2009. Pengerjaan yang dilakukan oleh Departemen Perhubungan ini direncanakan berlangsung selama 14 bulan.
Ketika ditanya apakah basic design ini sudah dikerjakan, Eddi mengaku tidak tahu. "Tanya saja sama mereka (Dephub). Kami mengerjakan rencana selanjutnya (2-4)," kata Eddi.
Rencana yang dimaksudkannya adalah proses tender konstruksi, pengerjaan konstruksi, dan uji coba. "Inilah yang dikerjakan oleh kami (MRTJ)," ungkap Eddi. Untuk proses tender, katanya, waktunya 12 bulan, konstruksi 58 bulan, dan uji coba 6 bulan saja. Dengan demikian, pada Januari 2016 MRT ini bisa dioperasikan.
Pemprov DKI sendiri, menurut info dari MRTJ, telah menunjukkan total komitmennya di Perda No 4/2008 yang memuat komitmen APBD sampai dengan 2016 sebesar Rp 1,5 triliun. Sampai dengan 2009, pemprov DKI telah mengeluarkan Rp 100 miliar untuk pembebasan tanah dan ekuitas MRTJ.
Namun, kata Eddi, dana yang berasal dari JICA sangat ketat penggunaannya. "Mereka meminta ada barangnya dulu baru uangnya dicairkan," katanya.
Implikasinya, masih kata Eddi, perusahaan kontraktor yang akan mengerjakan proyek ini harus memiliki modal awal. Pasalnya, tidak ada uang muka dalam pengerjaannya. Kalau dana itu dirupiahkan menjadi sekitar Rp 6 triliun. Jika diserap selama 2,5 tahun, per bulannya dana yang dibutuhkan sekitar Rp 2 miliar. Jadi, kalau menagihnya tiap tiga bulan sekali, kontraktor yang bersangkutan harus punya modal awal sebesar Rp 600 miliar," kata Eddi.
"Sistem pembayaran seperti ini sangat menguntungkan. Pertama, untuk menjamin proyek ini tidak terbengkalai. Kedua, kalau ada kenaikan biaya, Jepang langsung menanganinya," ungkap Eddi.
Pengerjaan proyek MRT ini merupakan tahap pertama dari dua tahap. Tahap pertama ini mengerjakan jalur dari Lebak Bulus sampai Dukuh Atas. Berikut adalah profil proyek MRT tersebut berdasarkan data MRTJ.
Panjang jalurnya 14,5 km (10,5 km di atas, 4 km di bawah tanah). Jumlah stasiun 12 buah (8 di atas dan 4 di bawah tanah). Waktu tempuhnya hanya 28 menit. Waktu berhenti 40,60 detik, ini untuk menghindari terciptanya pasar di lokasi stasiun. Jarak antarstasiun 0,8-2,2 km. Jumlah penumpang per hari mencapai 340.000 orang.
sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar